IJTIHAD
Apa dan Bagaimana Ijtihad itu?
Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Jenis-jenis Ijtihad
Ijma’
Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyas
Beberapa definisi qiyâs' (analogi)
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsan
Beberapa definisi Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya...
Mushalat murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
Bagaimanakah Muhammadiyah dalam Ijtihad ?
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan. Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua, peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih.
Dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah, terdapat istilah manhaj tarjih untuk menyebut metode istinbath hukum. Secara leksikal, manhaj berarti “jalan” atau “metode.” Dalam ilmu usul fiqih, manhaj digunakan sebagai cara mengeluarkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, secara istidlal dengan dalil ‘aql, seperti qiyas, istihsan, istishab, dan sebagainya (Abu Zahrah, Usul Fiqh, h. 115). Majelis Tarjih menggunakan kata manhaj sebagai acuan penggalian hukum Islam, baik dari dalil naql maupun ‘aqli. Muhammadiyah merumuskan pedoman dalam berijtihad dengan memakai nama “Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.
Manhaj ijtihad tersebut merupakan manifestasi bahwa Muhammadiyah tidak bermadzhab. Dalam hal ini, dibuktikan dari putusan-putusannya tidak merujuk kepada pendapat imam madzhab. Sebab, masalah-masalah yang diputuskan Majelis Tarjih didasarkan atas nash yang dianggap lebih kuat tanpa mengembalikan apakah pendapatnya sesuai dengan pendapat imam madzhab atau tidak.
Sungguhpun manhaj tarjih belum dapat dikatakan sebagai susunan ushul fiqih baru, namun telah memuat unsur-unsur penting dalam teori berijtihad, yaitu penggunaan sumber-sumber hukum, prinsip-prinsip ijtihad, dan kedudukan akal dalam penggalian hukum. Ternyata, manhaj yang demikian telah membawa Majelis Tarjih memutuskan berbagai masalah yang tampak mandiri dan tidak terikat oleh salah satu pandangan madzhab.
Mengenai penggunaan sumber dalil, pada dasarnya ijtihad Majelis Tarjih secara mutlak adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kedua dalil tersebut merupakan acuan utama dalam penetapan hukum. Hal ini terbaca pada hampir setiap keputusan tarjih yang senantiasa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil sebagaimana yang terbaca di dalam Himpunan Putusan Tarjih. Yang demikian memperlihatkan visi Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai gerakan pemurnian dengan semboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Himpunan Putusan Tarjih yang merupakan hasil ijtihad Muhammadiyah dapat diringkas isinya sebagai berikut:
a. Putusan tentang masalah akidah termuat dalam kitab iman dan masalah mempercayai kenabian setelah Nabi Muhammad saw.
b. Putusan tentang masalah fiqih, termuat dalam kitab; Thaharah, Kitab Salat, Kitab Zakat, Kitab Siyam, Kitab Haji, Kitab Janazah, Kitab Waqaf, Kitab Masalah Lima yaitu: Pengertian Agama, Dunia, Ibadah, Sabilillah, dan Pengertian Qiyas.
c. Masalah yang berkaitan dengan bidang akhlak, tasawuf, dan lain-lain kurang banyak dijelaskan. Kecuali masalah ziarah kubur yang memuat adab ziarah, kesunahan membuka alas kaki di atas kuburan, serta peringatannya kepada wanita agar tidak terlalu banyak berziarah kubur.
Dari beberapa isi yang dikemukakan di atas, di dalam penjelasannya tidak disebutkan qaidah usuliyah-nya untuk memutuskan suatu masalah. Atau, tidak dijelaskan jalan istinbath (cara penetapan hukum). Ketidakjelasan kedudukan suatu ayat atau Hadits dalam kaitannya dengan suatu keputusan akan memusykilkan status hukum yang dihasilkan. Apakah ayat ini merupakan tuntunan tetap ataukah tidak tetap, apakah ayat itu menunjukkan umum atau khusus dan seterusnya, sehingga menghasilkan hukum wajib, sunnah, atau mubah, dan sebagainya.
Meskipun secara teoritik Majelis Tarjih tidak mengkualifikasikan status hukum masing-masing keputusan, namun ada hal lain yang lebih esensial yang telah dicapai dalam putusan Majelis, yaitu unsur ittiba’ kepada Nabi saw, satu hal yang menjadi ruh atau jiwa bagi segala praktek ibadah.
Putusan tersebut di atas menggambarkan hasil dari putusan pada dekade awal berdirinya Majelis ini. Pada perkembangan selanjutnya, terutama hasil muktamar Tarjih XXII di Malang, hasil keputusan telah memuat beberapa kaidah ushul fiqih sebagai dasar istinbath.
Inilah konteks zaman yang senantiasa berubah, dan Muhammadiyah mengikuti perkembangan zaman sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Praktek ijtihad yang dilakukan oleh Majelis Tarjih selama ini dengan melalui tiga cara:
1. Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak, ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan konteksnya mempunyai arti mutasyabih ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arud). Dalam hal terakhir digunakan ijtihad tarjih.
2. Ijtihad Qiyasi, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nash-nya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash karena adanya kesamaan illat.
3. Ijtihad Istislahi, yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian, penetapan hukum dilakukan berdasarkan illat untuk kemaslahatan. (Manhaj Tarjih: 17).
Jadi, Muhammadiyah dalam berijtihad menggunakan istinbat hukum seperti yang tertuang di dalam Manhaj Tarjih. Dengan demikian, metode ijtihad Muhammadiyah adalah menggunakan Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Meskipun manhaj tarjih itu merupakan rumusan dari beberapa pendapat ulama ushul dan ini belum dikatakan Muhammadiyah telah menemukan rumusan ushul fiqih baru, akan tetapi manhaj telah berhasil digunakan oleh Majelis Tarjih dalam menetapkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Ijtihad berarti pembaharuan, Bagaimana Ijtihad Muhammadiyah dalam konteks pembaharuan ini ?
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.
Sebagai gerakan tajdid (pembaruan), Muhammadiyah mengembangkan semangat ijtihad, serta menjauhi sikap taklid. Istilah tajdid pada dasarnya bermakna pembaruan, inovasi, restorasi, modernisasi dan sebagainya. Tajdid mengandung pengertian bahwa kebangkitan Muhammadiyah adalah dalam usaha memperbarui pemahaman umat Islam tentang agamanya, mencerahkan hati dan pikirannya dengan jalan mengenalkan kembali ajaran Islam sesuai dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah (A. Syafi’i Ma’arif, 1996).
Mengingat kemassifan penetrasi budaya global yang multifaset dan rendahnya kualitas umat, pencerahan hati, pikiran, dan tindakan dalam ber-Islam sangat penting untuk digelorakan. Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk selalu mampu membuat semua langkah yang ditempuhnya tetap segar, kreatif, inovatif, dan responsif mengikuti perkembangan zaman. Muhammadiyah diharapkan dapat selalu berdiri di hadapan sejarah, dalam arti selalu berada di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Dengan cara demikian, Muhammadiyah mampu melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam secara dinamis dan kontekstual.
Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak akan pernah ketinggalan zaman, jika umat Islam selalu berusaha menangkap dan meresponi pesan-pesan kedua sumber Islam itu, kemudian mengontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat secara antisipatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus terus-menerus melakukan pembaruan. Harus selalu ada reorientasi, reevaluasi, revisi dan regenerasi terhadap apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Muhammadiyah tidak boleh cepat merasa puas diri terhadap capaian dan prestasinya selama ini, terutama di bidang pendidikan dan amal sosial, karena setiap rasa puas diri akan membawa pada stagnasi dan dekadensi (M. Amien Rais, 1995).
Ketika bicara tentang tajdid masa kini, Amien Rais mengajukan lima paket tajdîd atau pembaruan yang saling berkaitan dan harus senantiasa dilakukan Muhammadiyah. Kelima paket tajdîd tersebut adalah: tanzhîf al-aqîdah (purifikasi akidah), tajdîd al-nizhâm (pembaruan sistem, organisasi), taktsîr al-kawâdir (kaderisasi, memperbanyak kader), tajdîd etos Muhammadiyah, dan tajdîd kepemimpinan. Mengingat fenomena jahiliyah modern yang terus bermunculan, seperti: perdukunan, ramalan yang bernuansa klenik dan tahayul, dekadensi moral, pornografi dan pornoaksi, premanisme, terorisme, trafficking (perdagangan manusia), dan sebagainya. Kelima spektrum tajdîd di atas sangat relevan dengan tuntutan masa kini. Semua persoalan tersebut hanya dapat dihadapi dan diatasi dengan menggelorakan kembali semangat bertauhid secara murni, reformasi managemen dan organisasi Muhammadiyah dengan melakukan kaderisasi dan intelektualisasi dalam skala yang lebih besar dan merata ke seluruh penjuru tanah air.
Wilayah ijtihad dan tajdid Muhammadiyah sejak awal sebenarnya selalu terfokus pada persoalan historisitas kemanusiaan yang sekaligus juga menyentuh persoalan kebangsaan dan keumatan. Masalah pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan dan pelayanan kesehatan merupakan persoalan keumatan yang kongkret dan otentik. Sikap dan aksi nyata seperti itulah yang dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah pada awal berdirinya dan terus berlangsung hingga kini. Karena etos amal kemanusiaan dan keagamaan ini perlu mendapat ruang dan respon yang lebih luas dari warga Muhammadiyah dan lainnya.
Sebagai pelopor pembaruan pemikiran Islam khususnya di Indonesia, baik yang bercorak purifikatif (pemurnian akidah-ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah), Muhammadiyah telah menyumbangkan sesuatu yang paling mendasar, yakni sikap kritisnya terhadap status quo pemikiran keislaman saat kelahirannya maupun dalam perjalanan kehidupan bangsa. Selain itu, keunikan corak pembaruan yang dibawa Muhammadiyah adalah terletak pada sisi amaliahnya yang menekankan kesalehan sosial, seperti pembangunan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, masjid serta sarana dakwah lainnya.
GERAKAN MUHAMMADIYAH
Biografi Pendiri Muhammadiyah
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
Buku catatan tentang Kiyai Ahmad Dahlan merupakan kumpulan diary milik Haji Muhammad Syoedja’ cerita-ttg-kiyai-dahlan-catatan-kyai-soedjak yang ditulis secara detail tentang perjalanan perjuangan KH. Ahmad Dahlan mulai dari kisah kanak-kanak hingga KH. Ahmad Dahlan Wafat. Muhammad Syoedja’ adalah murid dan kader langsung KH Ahmad Dahlan, bersama-sama dengan adik dan teman-temannya, seperti Haji Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo, Haji Muhammad Zain, Haji Muhammad Mokhtar, KHA. Badawi, R.H. Hadjid dan lain-lain. Jika KHA. Dahlan adalah peletak dasar aktivitas amal usaha sosial Muhammadiyah, maka H. Muhammad Syoedja’ adalah perumus dan sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Beliau Ketua Bahagian (saat ini Majelis) Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang pertama, salah satu pendiri dan perintis RS PKU Muhammadiyah, pendiri rumah miskin, rumah anak yatim, dan pelopor gerakan Persatuan Djamaah Hadji Indonesia (PDHI). Pada awal mula musyawarah Muhammadiyah yang pertama Haji Muhammad Soedja’ merupakan pengurus yang langsung di tunjuk oleh KH. Ahmad Dahlan dari bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem yang merumuskan pendirian Rumah Sakit Muhammadiyah, Rumah Yatim dan Rumah Miskin pada awal program kerja. Jadi pada awal Musyawarah besar (sekarang Muktamar) Muhammadiyah setiap pengurus secara langsung dilantik dan menyebutkan program kerja sebagai sumpah jabatan secara langsung dihadapan musyawirin. Walaupun menurut buku ini program kerja yang dirumuskan oleh Haji Muhammad Soedja’ ditertawai dan diremehkan oleh para musyawirin karena pada saat itu mendirikan Rumah Sakit, Rumah Miskin dan Rumah Yatim merupakan hal yang mustahil sehingga para musyawirin menganggap bahwa Haji Muhammad Soedja’ hanya bermimpi dan berangan-angan saja. Jika sekarang para kader dan masyarakat Indonesia yang sakit atau yatim lalu memeriksakan kesehatan di Rumah Sakit Muhammadiyah atau Pondokan Yatim Muhammadiyah, itu merupakan realitas hasil dari perumusan, penafsiran, dan perintisan Haji Muhammad Soedja’ pada awal perjuangan Persyarikatan Muhammadiyah.
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah anak dari KH. Abubakar, Imam Khatib Masjid Besar (gedhe) Kota Yogyakarta. Diwaktu kecil KH. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan adalah pergantian setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik dan budi pekertinya halus dan hatinya lunak tetapi wataknya cerdas, menginjak usia 8 tahun ia telah dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar sampai khatam. Pada bulan Dzulhidjah tahun 1889 Miladiyah dan saat usia 18 tahun Muhammad Darwis di nikahkan dengan putri dari Kyai Haji Muhamad Fadlil Hoofd Panghulu Hakim di Yogyakarta yang bernama Siti Walidah yang sekarang kita sebut sebagai Nyi Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, Beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Berdirinya Muhammadiyah berikut hal-hal yang melatarbelakangi
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah.
Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Lambang Muhammadiyah dan Sejarahnya
Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh.
Matahari dengan dua belas sinar merupakan simbolisasi prinsip Islam sebagai agama rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Kata dalam Bahasa Arab “Muhammadiyah” yang berada di pusat matahari mengacu figur sentral dalam penegakan islam, Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa salam. Teks syahadat yang mengelilingi cahaya matahari mengacu pada dua kalimat syahadat sebagai dasar keimanan seorang muslim.
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Amal Usaha Muhammadiyah
Kehidupan dalam mengelola amal usaha Muhammadiyah, antara lain :
Amal Usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usaha-usaha persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Oleh karenanya semua bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan Tujuan Persyarikatan dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu sebaik-baiknya sebagai misi dakwah.
Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai Badan Hukum/Yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara keseluruhan sebagai amanat umat yang harus dutunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut. Status keanggotaan menjadi sangat perlu bagi pimpinan agar yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan-kepentingan persyarikatan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus dapat memahami peran dan tugas dirinya dalam mengemban amanah persyarikatan. Dengan semangat amanah tersebut, maka pimpinan akan selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh persyarikatan dengan melaksanakan fungsi managemen perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah senantiasa berusaha meningkatkan dan mengemangkan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya dengan penuh kesungguhan. Pengembangan ini menjadi sangat perlu agar amal usaha senantiasa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat) guna memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman.
Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan / kekayaan kepada pimpinan Perysrikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pimpinan amal usaha Muhammadiyah harus bisa menciptakan suasana kehidupan Islami dalam amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai salah satu alat dakwah maka tentu saja usaha ini menjadi sangat perlu agar juga menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.
Seluruh pimpinan dan karyawan atau pengelola amal usaha Muhammadiyah berkewajiban dan menjadi tuntutan untuk menunjukkan keteladanan diri, melayani sesama, menghormati hak-hak sesama, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi sebagai cerminan dari sikap ihsan, ikhlas dan ibadah.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah hendaknya memperbanyak silaturrahmi dan membangun hubungan-hubungan sosial yang harmonis (persaudaraan dan kasih sayang) tanpa mengurangi ketegasan dan tegaknya sistem dalam penyelenggaraan amal usaha masing-masing.
Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktifitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya juga dibiasakan melakukan kegiatan - kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta kemuliaan akhlaq melalui pengajian, tadarrus serta kajian al-Quran dan al- Sunnah, dan bentuk-bentuk ibadah dan mu'amalah lainnya yang ertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal usaha Muhammadiyah
Muhammadiyah dengan berbagai amal usahanya, terus maju dan berkembang. Tentunya tidak sedikit halangan dan tantangan yang dialami Muhammadiyah. Dengan kesabaran dan tawakkal Muhammadiyah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan mengalami perkembangan yang baik. Karena semakin meluasnya perkembangan amal usaha Muhammadiyah khususnya dalam bidang kemasyarakatan, maka Muhammadiyah membentuk kesatuan-kesatuan kerja bidang kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai badan pembantu persyarikatan. Kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan lainnya. Majelis yang menangani bidang sosial ekonomi adalah majelis ekonomi.
Majelis ekonomi Muhammadiyah mempunyai tugas seperti tersebut di dalam kaidah majelis Ekonomi, yang pada pokoknya adalah :
Konseptual, yaitu merumuskan dasar, tujuan serta sistem ekonomi menurut ajaran Islam.
Praktikal, yaitu menggerakkan dan menghimpun kegiatan-kegiatan ekonomi warga persyarikatan sesuai bakat masing-masing dan sepanjang sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut kaidah tersebut, majelis ekonomi langsung menangani bidang konseptual, sedangkan bidang praktikal, Majelis ekonomi tidak menjalankannya sendiri, akan tetapi mengerahkan anggota-anggota persyarikatan. Dalam menjalankan kaidah tersebut tentunya tidak sedikit hambatan yang dialami Majelis Ekonomi. Di antara faktor penghambat tersebut adalah: Pertama, banyaknya jabatan rangkap warga Muhammadiyah. Sebagian besar pengurus Muhammadiyah adalah pegawai negeri sipil. Kedua, faktor biaya, dalam soal biaya, memang Muhammadiyah berjalan tanpa biaya yang pasti.[6] Seiring dengan perjalanan waktu, Majelis Ekonomi terus melakukan usaha pengembangan ekonomi yang berbasis masyarakat. Maka pada Muktamar ke-43 di Banda Aceh nama Majelis Ekonomi dipertegas menjadi majelis Pembina Ekonomi.[7] Dari nama itu tersimpul bahwa Muhammadiyah mulai mengemban misi membina ekonomi umat. Sejak periode kepengurusan M. Amin Rais, kegiatan Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah mulai diarahkan. Pada dasarnya, Majelis Pembina Ekonomi Muhammadiyah akan membina ekonomi umat melalui tiga jalur :
Mengembangkan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang mempresentasikan kekuatan ekonomi organisasi Muhammadiyah.
Mengembangkan wadah koperasi bagi anggota Muhammadiyah.
Memberdayakan anggota Muhammadiyah di bidang ekonomi dengan mengembangkan usaha-usaha milik anggota Muhammadiyah.[8]
Dalam pengembangan ekonomi, Muhammadiyah sebenarnya tidak berangkat dari nol. Muhammadiyah telah memiliki aset atau sumber daya yang bisa dijadikan modal. Aset pertama adalah sumber daya manusia, yaitu anggota Muhammadiyah itu sendiri, baik sebagai produsen, konsumen maupun distributor. Aset kedua adalah kelembagaan amal usaha yang telah didirikan, yaitu berupa sekolah, universitas, lembaga latihan, rumah sakit, dan lain-lain. Aset ketiga adalah Struktur Muhammadiyah itu sendiri sejak dari pusat, wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, telah diputuskan suatu mandat tentang Perekonomian dan Kewiraswastaan. Terdapat 7 butir program persyarikatan yang perlu direalisasikan oleh Majelis Ekonomi[9], yaitu :
Mewujudkan sitem JAMIAH (Jaringan Ekonomi Muhammadiyah ) sebagai revitalisasi gerakan dakwah secara menyeluruh. Untuk itu ditetapkan :
Buku Paradigma Baru Muhammadiyah, Revitalisasi gerakan dengan sistem JAMIAH sebagai acuan program lebih lanjut.
Program KATAM[10] ditetapkan sebagai program dasar perwujudan sistem JAMIAH.
Membangun infrastruktur pendukung JAMIAH melalui antara lain infrastruktur komunikasi dan infrastruktur distribusi (program MARKAZ[11]).
Mengembangkan pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep pengembangan ekonomi yang berorientasi kerakyatan dan keislaman, seperti etos kerja, etos kewiraswastaan, etika bisnis, etika manajemen, etika profesi dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan aktual yang terjadi dalam dunia ekonomi.
Melancarkan Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, meliputi pengembangan sumber daya manusia dalam aspek ekonomi, pembentukan dan pengembangan lembaga keuangan masyarakat, pengembangan bank syariah Muhammadiyah, pengembangan kewirauahaan dan usaha kecil, pengembangan koperasi dan pengembangan Badan Usaha Milik Muhammadiyah yang benar-benar kongkrit dan produktif, seperti KATAM, BMT, LKM dan lain-lain.
Intensifikasi pusat data ekonomi dan pengusaha Muhammadiyah yang dapat mendukung pengembangan program-program ekonomi.
Menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan program-program ekonomi dan kewiraswastaan di lingkungan Muhammadiyah.
Mengembangkan pelatihan-pelatihan dan pilot project pengembangan ekonomi kecil dan menengah baik secara mandiri maupun kerja sama dengan lembaga-lembaga luar sesuai dengan perencanaan program ekonomi dan kewiraswastaan Muhammadiyah.
Mengkoordinasikan seluruh kegiatan ekonomi bisnis dan kewiraswastaan di bawah majelis Ekonomi dan memberlakukan Majelis Ekonomi sebagai satu-satunya yang memutuskan kebijakan di bidang ekonomi.
Perkembangan Muhammadiyah sebelum, saat dan pasca berdirinya
Sebelum berdirinya Muhammadiyah
Pada masa K.H Ahmad Dahlan, islam masih banyak bercampuar baur dengan kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Dia mempertanyakan dan mempertentangkan antara pesan doktrin dan kenyataan yang ada. Dia melihat dari sudut pandang doktrin yaitu Al Quran dan Al Hadist, serta melihat kenyataan yang ada tampaklah ada hal-hal yang tidak sesuai antara doktrin dengan kenyataan yang ada. Dia bergerak memurnikan ajaran dengan salah satru caranya memberantas bid’ah dan khurafat.
Dengan gerakan pemurnian (Purifikasi) agama ini setidak-tidaknya timbul kesadaran baru tentang mana yang ajaran islam dan mana yang bukan. Menurut K.H Ahmad Dahlan, untuk menjadi orang islam sejati harus membuang semua kebiasaan, membersihkan diori dari amal, kehendak, keinginan, kepercayaan, pendapat dan semua yang ada di dalam hati, di rumah tangga dan di masyarakat, kemudian baru masuk dalm ajaran islam. Ini berarti bahwa orang islam harus menekankan faham tauhid. Hanya ALLAH yang dimulyakan, dicintai, ditakti dan ditaati. Keyakinannya tertuju pada ALLAH semata begitu pula amalnya.
Saat berdirinya Muhammadiyah
Keprihatinannya terhadap kondisi um,at islam Indonesia menimbulkan semangat berjuang dalam dada K.H Ahmad Dahlan untuk memajukan dan menggembirakan pengajaran agama islam dan kehidupan orang islam. Apa yang dipikirkan dan dikerjakan oleh K.H Ahmad Dahlan dengan berdirinya Muhammadiyah yang mempunyai aneka ragam kegiatan menjadikan organisasi tersebut tersebar di seluruh Jawa dan bahkan di seluruh Indonesia. Citra Islam dalam masyarakat berubah, Islam yang semula dianggap sebagai agama kolot menjadi modern, maju dan dinamik. Kaum santri yang dulu buta pengetahuan menjadi pandai dan berpengaruh dalam masyarakat. Pendek kata pemikiran dan aktivitas K.H Ahmad Dahlan berhasil menaikkan dan mengangkat posisi Islam dan pemeluknya dalam struktur masyarakat Indonesia.
Pasca berdirinya Muhammadiyah
Dari yang dikerjakan oleh K.H Ahmad Dahlan, terlihat bahwa penekanan gerakan Muhammadiyah adalah bidang sosial dan pendidikan. Sedang pemikiran dalam bidang agama yaitu menuju pada hal yang mendasar, tauhid dan amal. Organisasi Muhammadiyah ini lebih tepat dikatakan sebagai gerakan pendidikan dan sosial (kemasyarakatan). Secara keseluruhan gerakan ini mencerminkan penekanan pentingnya iman, ilmu dan amal.
Dengan kembali kepada Al-Quran dan Hadist, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan paham atau maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran kedua sumber itu dan pencarian bentuk-bentuk kegiatan baru yang berbeda dengan lingkungan berarti K.H Ahmad Dahlan mempunyai pemikiran yang liberal namun masih dalam jalur yang lurus dan benar (ortodoks). Pemikiran ini nampak di Indonesia datang dengan tiba-tiba dan mendadak, sehingga banyak juga reaksi negative yang datang. Tradisi sebelumnya yang berupa percampuran kepercayaan dan adapt kebiasaan perlu juga dihargai sebagai proses yang memang harus dilalui. Dia berpijak dari tradisi, memberikan kritik, mengembangkan dan menyumbangkan kepada tradisi, yaitu tradisi pemikiran keagamaan (Islam) dengan Muhammadiyah di Indonesia.
Periodisasi Kepemimpinan Muhammadiyah
1. KH Ahmad Dahlan 1912-1922
2. KH Ibrahim 1923-1934
3. KH Hisyam 1935 - 1936
4. KH Mas Mansur 1937 - 1941
5. Ki Bagus Hadikusuma 1942 - 1953
6. Buya AR Sutan Mansur 1956
7. H.M. Yunus Anis 1959
8. KH. Ahmad Badawi 1962 - 1965
9. KH. Faqih Usman 1968
10. KH. AR Fachruddin 1971 - 1985
11. KHA. Azhar Basyir, M.A. 1990
12. Prof. Dr. H. M. Amien Rais 1995
13. Prof. Dr. H.A. Syafii Ma'arif 1998 - 2005
14. Prof. Dr. HM Din Syamsuddin 2005 - 2010
Khittah/Perjuangan Muhammadiyah
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.
DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat
Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
IDENTITAS MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yaitu mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang ingin diwujudkan itu Muhammadiyah memiliki arah yang jelas dalam gerakannya.
Cita-cita ideal yang ingin diwujudkan Muhammadiyah terkandung dalam rumusan maksud dan tujuan, yakni “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” (Bab III. Pasal 6). Sering muncul pertanyaan seputar makna atau kandungan isi dari maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut. Apakah yang dimaksudkan dengan kalimat “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam” itu? Apa pula, dan ini lebih sering dipertanyakan, yang dimaksud dengan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” itu? Dua pertanyaaan yang elementer, tetapi memang sangat penting untuk diketahui dan dipahami khususnya oleh anggota Muhammadiyah. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu diketahui konteks lahirnya perumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut, yang kedua substansi atau isinya dengan merujuk pada pemikiran-pemikiran yang selama ini berkembang dalam Muhammadiyah.
Jadi dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al Qur'an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riel dan kongkrit.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, Amar Ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar untuk meluruskan kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan keterbelakangan atau kebodohan massif.
Tidak hanya ranah pemahaman agama yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi kemasyarakatan.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid/Pembaharuan/Reformasi
Ciri ketiga ini yang melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau pembaharu. Apabila dari makna dalam segi bahasa Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti yakni :
pemurnian
peningkatan, pengembangna, modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih
Sedangkan arti “Peningkatan, pengembangan, modernisasi” tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an dan AS Sunnah shahih.
Di samping itu ternyata bila diamati Muhammadiyah mempunyai PR untuk menjawab tantangan zaman dan arus globalisasi yang terus melaju, yaitu :
Pemurnian (Purifikasi)
Tugas/PR pertama Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah.
Peningkatan, pengembangan, modernisasi
Tak melenceng dari awal pemberdayan pemikiran sang pendiri Muhammadiyah maka sebagai tantangan zaman tugas/PR kedua Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah maupun amal usaha Muhammadiyah.
Dan mengembangkan serta melebarkan sayap Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng kebodohan massif Muhammadiyah.
Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat up to date bukan berarti berganti baju untnuk beridentitas ideologi baru namun Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus modernisasi.
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar